Surat Sahabat
Sahabat, aku Reni, semoga kamu tidak lupa. Kita memang sudah lama tidak bertemu. Cerita tentangmu dan sahabat-sahabat lain memang sudah lama tidak tercipta lagi. Seingatku, kita terakhir bertemu saat aku menikah dengan Mas Didit teman kuliahmu itu sekitar lima tahun yang lalu. Memang, seperti yang kamu ketahui dulu aku adalah wanita baik-baik dan sekarang pun aku masih baik.
Tahukah kamu? bahwa setahun kemarin kita sudah bercerai? Memang pernikahan kami sangat sempurna pada awalnya. Dulu karir Didit begitu maju, sebagian gaji yang dia gunakan untuk investasi juga membuahkan banyak hasil. Keluarga kami hidup hidup sangat layak, waktu itu semuanya lebih dari cukup.
Tapi entah mengapa, Mas Didit mulai terjerat dengan narkoba. Sebenarnya, dia termasuk pria yang setia. Dia juga tidak pernah bermain perempuan. Dia hanya terjerumus ke Narkoba.. itu saja. Semenjak itu, keharmonisan keluarga kami mulai goyah. Kami sering bertengkar. Saya sangat tidak suka dengan kebiasaannya yang suka mabuk-mabukan dengan rekan bisnisnya itu.
Akhirnya, kami memutuskan untuk bercerai. Mulai saat itu yaitu saat usiaku menginjak 25 tahun, aku ikut paman bekerja di Purwokerto. Jilbab aku kenakan sebagai tanda bahwa aku ingin menjalani hidup baru dengan sebaik-baiknya. Aku juga aktif di berbagai kegiatan sosial yang diselenggarakan perusahaan, dari darma bakti hingga sunatan masal.
Pada suatu saat, perusahaan kami mengadakan kegiatan donor darah. Seperti biasa, aku juga terpanggil untuk ikut menyumbangkan darahku. Tapi apa yang terjadi? dari tes darah di laboratorium diketahui bahwa aku mengidap virus HIV positif. Jelas, virus ini ditularkan oleh suamiku. Sebab empat bulan kemarin aku juga mendapat kabar bahwa Didit telah terbukti positif HIV. Virus HIV yang menyerang Didit berasal dari salah satu jarum suntik narkoba yang ia gunakan. Hatiku hancur seketika. Aku sudah berusaha merahasiakan penyakit ini, tapi akhirnya teman-temanku mengetahui juga. Mereka mulai menjauh dan berpikir yang tidak-tidak tentang aku.
Jilbab mulai kucopot, aku tidak mau menodai kesucian penutup aurat ini. Gosip tidak sedap tentang aku mulai menyebar. Aku sangat malu hingga aku memutuskan pulang ke tempat Ibu. Tapi ternyata keluargaku juga sangat malu dengan keadaanku. Bapak malah mengusirku dari rumah. Hanya Ibu yang setia menemani aku waktu itu. Dia juga yang mencarikan aku kost dan mau mengantarkan aku ke rumah sakit untuk berobat.
Rumah sakit pun ternyata juga cukup brengsek. Aku sempat berpindah-pindah ke tiga rumah sakit sebelum dirawat di tempat rehabilitasiku sekarang ini. Rumah-rumah sakit itu menolak merawat dan memberi terapi, sekalipun itu cuma rawat jalan. Alasan-alasan yang mereka utarakan pun tidak ada yang jelas.
Sekarang aku tinggal di sebuah panti rehabilitasi AIDS. Aku bisa tinggal dan dirawat secara gratis di sini. Yayasan pemilik panti ini memiliki banyak donatur. Doa dan syukurku selalu kupanjatkan agar Tuhan berkenan membalas kebaikan mereka dengan berlipat ganda. Aku memang masih terlihat sehat hingga saat ini. Kata dokter, masa inkubasi virus HIV sekitar 8 tahun. Maka hingga tujuh tahun ke depan keadaanku masih baik-baik saja seperti sekarang.. sesudah itu? entahlah.
Saat ini hanya satu orang yang dekat denganku, yaitu ibuku. Tetapi setelah aku masuk panti kami menjadi terpisah. Kami hanya berkomunikasi lewat telepon. Aku sangat kesepian di sini, sekalipun orang-orang yang merawat aku adalah orang-orang yang sangat baik, tetapi aku tetap tidak bisa merasa dekat dengan mereka. Hanya kamu sahabat, serta teman-teman di waktu dulu yang bisa aku harapkan.
Masihkah kamu mau menyediakan lenganmu? sekedar untuk menyentuh diriku yang kotor ini? masihkah kau sediakan bahu itu? seperti dulu? saat aku, kamu, dan sahabat-sahabat lain masih setia saling berkalung tangan? bahkan.. hingga 7 tahun nanti, saat aku mulai lemah, saat aku mulai berubah menjadi sosok berbau busuk dan sangat menjijikan, masihkah kau mau menjengukku? sahabat.. aku sangat merindukan kalian..
Salam hangat dariku,
Reni
—————————————–
***Surat di atas hanya fiktif hasil tulisan saya, tetapi inti cerita diangkat dari kehidupan nyata seorang sahabat.
***Nama “Reni” hanyalah samaran dan rekayasa belaka, mohon maaf jika ada kesamaan nama.
***Foto anatomi Virus HIV diambil dari http://mpelembe.blogware.com. Foto ini berlisensi bebas untuk publik (GPL).
***Klik di sini untuk belajar lebih lanjut tentang AIDS, atau klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang virus HIV.
.
seperti biasa.. kisah2 disini selalu sarat makna serta mampu menyentuh jiwaku
mantaff…, smoga ini bisa jdi pelajaran…. buat smua…..,blajar bukan hanya dari skolah…tpi dari sini saya mendapat banyak pelajaran…..!trims
Selalu berusaha menjadi sahabat yang baik bagi orang lain. Melakukan yang terbaik bagi orang lain sebagai ucapan syukur kita kepada Tuhan untuk segala kasihNya yang telah kita terima yaitu menjadi yang terbaik bagi mereka….cerita ini teman2 pada suka…aku bagikan ke FB dan tidak lupa juga mencantumkan dari mana saya mengambil cerita ini…
makasiiih.. ^^
kk tolong bikinin aku surat untuk sahabat pliss ada tugas
ada yg lain gk aq mw sih kk pliis
Nice Story.
SAHABAT adalah seseorang yang tak akan bisa kita lupakan.
Kami disini,
pekerja sosial siap menjadi sahabat mu kawan…
karena kami memahami bahwa, setiap manusia itu “UNIK”
apapun masa lalu mu, kami tidak peduli… yang penting, bagaimana sahabat semua menatap hidup ini kedepan.
” mari pergunakan sisa-sisa dari hidup ini untuk memberi manfaat trhadap lingkungan sekitar”
😉 ya, kita harus belajar dari Ketulusan Matahari..
berusahalah menjadi yang terbaik, meskipun berujung kekecewaan,..
itu lebih baik daripada menyesal tidak pernah berbuat baik
kisah hidup yang membuatku mersa terharu…pesanku yang sabar ALLAH tak pernah memberikan cobaan yang berat melebihi kemampuan kita…cobaan demi cobaan membuat kita semakin kritis dalam memaknainya…setiap pengalaman adalah guru yang paling terbaik dalam hidup.
Semoga Allah menyediakan surga yang indah untuk mu nanti (amin)
Artikelnya sangat inspiratif, keren!