Tokoh Inspiratif
Lifes Go On
Peng Shulin, seorang lelaki paruh baya dari Cina itu memegang alat bantunya. Tapak demi tapak kaki besi itu mulai melangkah. Sesekali terlihat ia menyeka keringat. Matanya tetap menghadap ke depan. Senyum lembutnya pun tetap terlintas, bahkan sesekali diselingi dengan tawa. Setiap orang yang berada di dekatnya waktu itu hanya bisa bergumam, “Ia optimis, ia beruntung..”
Ingatannya mulai menerawang pada kejadian lebih dari sepuluh tahun silam itu. Hatinya selalu miris saat di otaknya terbayang bagaimana truk besar itu menggilas habis tubuhnya bagian bawah. ” tetapi, Tuhan menyelamatkan saya!” begitu katanya pada semua orang.
Fleming
kelemahlembutan itu seperti emas terukir, dalam rangkulan kasih mesra Sang Khalik dan ciptaannya.. mengalirkan keindahan yang tak terucap kata..
(Berbahagialah orang yang lembut hatinya.. karena mereka akan memiliki bumi)
Namanya Fleming, ia adalah seorang petani Skotlandia yang miskin. Pada suatu hari, saat petani itu sedang mengerjakan kebunnya, perlahan-lahan ia mendengar teriakan minta tolong. Sejenak ia berhenti dan mencoba mengamati lagi teriakan itu. Jelas sekarang, teriakan itu berasal dari rawa-rawa di dekat kebunnya. Yup, kebun petani itu memang berada di dekat danau, dimana di pinggir danau tersebut terdapat rawa-rawa yang ditumbuhi lebat dengan berbagai ilalang.
Fleming segera meletakkan peralatannya dan berlari menuju rawa-rawa itu. Dilihatnya seorang anak sedang bergelut dengan api. Mungkin anak itu telah bermain-main dengan bubuk mesiu, yang saat itu bertaburan di tubuhnya. Entah bagaimana bubuk mesiu itu telah terbakar, dan nyala api telah menjilati tubuhnya. Api gemericik yang mulai menyala dikaki itu tentunya menimbulkan efek yang sangat menyakitkan. Jika tidak segera dihentikan, perlahan namun pasti seluruh tubuh anak itu akan terbakar.
Will you be there?
Malam ini, siaran TV tentang prosesi pemakamannya berjalan begitu khidmat. Satu per satu orang-orang besar itu mulai berbicara dan bernyanyi. Sepinya malam ini memaksaku untuk terus melihat acara itu.. hingga satu lagu dinyanyikan dan.. aku kembali terngiang pada masa dimana lagu itu sering menghiasi telingaku..
Aku dekati piano elektrikku.. satu per satu jemari ini mulai menyentuh tutsnya.. aku sengaja tambah sedikit efek string lirih, agar kakiku juga bisa memainkan sustain dan vibratonya.
Terima Kasih
Malam itu, sekitar pukul 11.30 malam, seorang wanita negro berdiri di samping mobilnya yang mogok. Waktu itu hujan deras, dan jalan itu sepi sekali. Beberapa kali wanita itu mencoba menumpang 1-2 mobil yang lewat dengan cara melambaikan tangannya, tetapi mobil-mobil itu berlalu begitu saja.
Di tengah keputusasaannya, dia mencoba untuk tegar. Dia kembali melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Dinginnya airĀ yang mengguyuri tubuhnya yang mulai demam tak digubris, ia tetap melangkah.
Tiba-tiba ada pejalan kaki, seorang pria kulit putih berlari mendatanginya. Tanpa mempedulikan konflik kulit hitam dan kulit putih yang sedang berkecamuk, pria kulit putih itu mencoba menawarkan diri untuk menolong si wanita kulit hitam. Saat itu adalah sekitar tahun 1965, dimana ras menjadi materi utama perpecahan di Amerika.
Hijaukan Bumi
Krrrriiiiiiiiiinggg……
Bel berbunyi nyaring. Yah, ini memang sudah waktunya istirahat di SD itu. Anak-anak langsung berhamburan keluar dari kelas. Ada yang mulai sibuk menata kelerengnya, ada yang kejar-kejaran, ada pula yang masih tinggal di kelas untuk sekedar ngobrol dengan teman-temannya.
Edo dan Lukman adalah siswa kelas 5 di SD itu. Seperti teman-temannya, saat istirahat mereka manfaatkan sebaik mungkin. Mereka berdua langsung berlari berlomba-lomba menuju ke sebuah pohon besar di sebuah pohon sekolah – yang kurang lebih berjarak 25 meter dari ruang kelas mereka. Edo dan Lukman memang suka melakukan perlombaan itu, siapa yang bisa menyentuh pohon pertama kali, dia yang menang.
Juara Olimpiade
Dengan kepala menunduk, anak muda yang mulai kelelahan itu berkata lirih, “Kau bisa, kau bisa, kau bisa..” Kata-kata ini diucapkan berulang-ulang untuk memberinya tenaga tambahan kepada kedua kakinya yang berderap menyentuh aspal bergantian. Sesaat ia menatap garis finish yang berada beberapa puluh meter di depannya. “Sudah dekat.. ayolah kamu bisa !” katanya pada diri sendiri.
Kilatan-kilatan cahaya dari kamera para wartawan akhirnya menghinggapinya saat Chris Burke memasuki finish. Mikrofon-mikrofon besar segera di arahkan oleh para kuli tinta itu untuk menangkap komentar sang juara baru.